‘Ujub yang Membunuh Perbaikan dan Mematikan Kemajuan

Bab ‘ujub ada dalam bagian “Celanya Takabbur” dalam Ihya Ulumuddin Al-Ghazali. Membacanya, aku jadi lebih memahami sesuatu bahwa perkara yang sangat psikologis ini sinkron dengan apa yang kupelajari di bangku perkuliahan. Hanya saja, sayang… Mereka yang mindset-nya sudah terdikotomi Barat dan Islam, mungkin akan sulit melihat apa yang aku lihat ini. Semoga tidak seperti itu.

Dalam teori regulasi diri (singkatnya, ini teori tentang bagaimana manusia mengusahakan pemenuhan kebutuhan hidup dan pencapaian target, standar, keinginan, cita-cita, dan tujuan), ada satu titik yang menarik dalam prosesnya. Pasca bertindak, manusia bukanlah makhluk yang menerima begitu saja apa yang terjadi atau apa yang dihasilkan. Manusia adalah makhluk yang self-evaluative; ia menilai baik buruk keadaannya, usahanya, juga hasil usahanya. Apa yang membuat manusia kemudian bisa menjadi makhluk yang maju adalah karakter dasarnya yang mampu mengenali dirinya, tidak mudah puas, selalu saja ada yang kurang, selalu saja ada yang belum benar. Manusia ingin lebih puas lagi, ingin lebih banyak lagi, dan lebih benar lagi. Itulah dasar pengejaran kepuasan hidup; insting mempertahankan eksistensi yang diwarnai gemerlap intelektualitas.

‘Ujub artinya merasa bangga pada diri sendiri, merasa heran terhadap diri sendiri dengan sebab adanya satu dan lain hal. Diri sendiri yang dimaksudkan ini adalah mengenai pribadinya, golongannya, kelompoknya, atau apa saja yang dianggap berhubungan erat dengan dirinya sendiri itu (bisa anak, istri, keluarga, sahabat karib, dan sebagainya).

Dalam Islam, ‘ujub adalah akhlak yang sangat tercela. Semoga kita ingat kisah perang Hunain, “Sesungguhnya Allah telah Menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) Peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudia kamu lari ke belakang dengan tercerai-berai.” (QS At-Taubah 9: 25)

Allah tidak senang dengan sikap manusia, terutama kaum muslimin, yang membanggakan dirinya, merasa heran terhadap jumlahnya yang banyak yang dikiranya akan pasti memberikan kemenangan. Kenyataannya tidaklah demikian.

Di ayat lain, Allah juga mencemooh orang-orang kafir yang membanggakan kekuatan pertahanan negara mereka, kekuatan yang mereka dirikan, yang mereka sangka tidak dapat runtuh. “… Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (Siksaan) Allah; maka Allah Mendatangkan kepada mereka (Hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah Mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri… Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran…” (QS Al-Hasyr 59: 2)

Terakhir, Allah memperingatkan orang-orang yang berbangga diri lantaran merasa sudah baik, sekalipun di kenyataan mereka memang sudah baik. “… ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. “ (QS Al-Kahf 18: 104)

Ingat kemudian yang pernah dikatakan Ibn Mas’ud, ingat pula teori regulasi diri, “Kebinasaan itu terletak pada dua perkara, yaitu putus asa dan ‘ujub (berbangga diri).” Dua hal itulah yang telah dikonseptualisasikan sebagai reaksi diri yang jelek atas hasil evaluasi diri. Di ekstrem kiri ada keputusasaan yang membuat orang mogok berusaha, di ekstrem akan ada kebanggadirian yang juga membuat orang mogok berusaha.

Al-Ghazali menerangkan bahwa dua hal di atas dapat membinasakan karena kebahagiaan itu tidak mungkin dapat diperoleh dengan malas-malasan. Ia harus dikejar dengan kegiatan, kesungguhan hati dan perbuatan, menuntut dengan sekeras-kerasnya tanpa mengenal lelah dan sengsara, serta tangkas melakukan daya upaya dan pula memasuki setiap kesempatan yang ada. Orang yang berputus asa itu tidak lagi suka berusaha dan karena itu, tidak lagi mencari apa-apa yang dicita-citakannya. Kebalikannya orang yang berputus asa adalah orang yang berbangga diri atau ‘ujub. Ia seolah-olah sudah yakin bahwa dirinya yang bahagia, merasa sudah pasti berhasil, selamat, dan sejahter. Oleh sebab itu, ia menganggap tak ada gunanya berusaha lagi untuk memperoleh kebahagiaan (yang lebih baik) karena sudah merasa cukup. Dua orang tersebut merusakkan dan menghancurkan segala kebaikan.

 

Bahaya ‘Ujub

Pertama, ‘ujub itu adalah sebab kesombongan/ takabbur. Orang tidak bisa sombong sebelum dia memandang dirinya baik, atau masih memandang dirinya buruk atau kurang. Orang akan mungkin menjadi sombong, minimal ketika ia sudah merasa cukup baik, atau sangat baik.

Terkait hubungan dengan Allah, ‘ujub itu membuat orang lupa akan dosa-dosanya, lalu berakhir melalaikannya dan tidak memperhatikan akibat-akibatnya. Ia tidak mengingat kesalahannya karena merasa tidak perlu menelitinya lagi. Kalaupun ada yang diingat, ia menyepelekannya. Karena ia menyepelekan, ia tidak berusaha sekuat-kuatnya untuk memperbaiki kesalahan dan menghilangkan keburukan itu. Bahkan, bisa jadi ia merasa Allah sudah mengampuninya.

Tterkait dengan ibadah atau amal-amal saleh, ia mengira sudah melakukan sesuatu yang besar dan menduga pahalanya juga sama besarnya. Harapannya berlebihan terhadap Allah, hanya dengan melaksanakan amalan yang belum seberapa, ia menganggap itu sudah sangat bermutu.

Kedua, orang yang ‘ujub, ia menjadi buta akan bahaya ‘ujub itu sendiri. Orang yang ‘ujub sudah pasti adalah orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, tertipu oleh pendapatnya sendiri, dan tertipu oleh perasaannya sendiri. Ia salah mempersepsikan diri dan perbuatannya.

Ketiga, orang yang ‘ujub akan berakhir tidak berpijak pada realita, tidak menyadari kedudukan dirinya. Ia memuji-muji dirinya, menyanjung-nyanjung perbuatannya, dan menganggap diri tak berdosa. Ia membosankan orang-orang yang mendengarkannya.

Keempat, orang yang ‘ujub atau membanggakan pendapat, amalan, dan akal pikirannya akan: 1) tidak suka mencari kemanfaatan ilmu pengetahuan pada orang lain karena sudah merasa sangat pandai. 2) Tidak suka mengajak kawan-kawannya bermusyawarah dalam segala hal, tentang kepentingan umat dan masyarakat. Kalaupun ia mau bermusyawarah, ia ingin kawan-kawannya menyetujui yang dikehendakinya. Itu karena ia merasa pendapatnyalah yang terbaik dan harus dijadikan pedoman. 3) Tidak suka bertanya pada siapapun juga, karena merasa malu kalau-kalau dianggap orang bodoh.

Kelima, orang yang ‘ujub itu akan mengutamakan dirinya sendiri, tidak lagi memikirkan kepentingan orang lain. Ia memutuskan segala sesuatu dengan pemikirannya sendiri, memaksakan kemauan, enggan bertanya pada orang yang lebih mengerti. Kalau ia gagal mengerjakan suatu pekerjaan, dilemparkanlah kesalahan itu kepada orang lain. Ia mengkambinghitamkan teman-temannya, bawahan-bawahannya.

Keenam, orang yang ‘ujub kadang-kadang melampaui batas akal sehat. Ia gembira kalau segala sesuatu itu timbul dari gagasannya dan suka sekali mempopulerkan apa-apa yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, ia tidak suka kemasyhuran yang dicapai karena gagasan orang lain. Orang yang ‘ujub yang sudah melampaui batas, tidak akan suka mendengarkan nasihat. Ia memandang orang lain mengira membodohkannya, sehingga ia tetap meneruskan kesalahan. Ia merasa tidak perlu lagi menambah amal kebaikan dan memperbaiki diri.

 

Menyembuhkan ‘Ujub

Al-Ghazali mengatakan, sebab ‘ujub adalah kebodohan sehingga obat ‘ujub adalah apa yang merupakan lawan dari kebodohan, yaitu ilmu pengetahuan yang menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang hakikat keadaan dirinya yang di’ujubkan itu di hadapan Allah. Semua kenikmatan yang dia terima adalah pemberian Allah, bukan semata-mata adalah hasil jerih-payahnya. Allah berkuasa mencabut nikmat dan memindahkannya kepada orang lain yang lebih mengenal dirinya. Jika nikmat itu dirampas, ia tentu akan menjadi hina dan miskin, berkebalikan dari kondisinya semula. Orang yang hatinya sudah merasa takut kepada Allah, ia akan takut pula kalau nikmat Allah pada dirinya dicabut karena ia membanggakannya. Orang yang benar-benar mengerti ini tidak akan dapat membanggakan diri dan amalan-amalannya. Ia justru akan menjadi lebih banyak bersyukur, merasa fakir di hadapan Allah, merendahkan hati di hadapan manusia.

***

Menulis ini benar-benar memberikan peringatan pada diri. Aku tahu, aku pernah ‘ujub. Keberhasilan-keberhasilan dan kondisi-kondisi baik yang berhasil dipertahankan, pernah membuatku ‘ujub dan mungkin akan selalu ‘ujub. Akhirnya aku menyimpulkan, menyengajakan diri mencari-cari kekurangan, kelemahan, dan keburukan diri itu ada baiknya. Ia mengeremku, membuatku tetap berada di tengah-tengah, untuk tidak terlalu bersedih, juga tidak terlalu berbahagia. Tapi, tetap saja entah bagaimana semua ini akan berlangsung, apakah aku bisa terus menjadi orang yang ingat dan mampu mengingatkan diri sendiri? Pada saat itu, Ya Allah, tolonglah aku.

6 thoughts on “‘Ujub yang Membunuh Perbaikan dan Mematikan Kemajuan

  1. membaca tulisan ini, sepertinya sya jg pernah ‘ujub..pdahal klo dipikir2 lagi utk apa coba dibangga2in.. #astaghfirullah

    #nice post..bahas ttg manusia memang tdk ada matinya..

    • ‘Ujub itu rasanya… menyusup pelan-pelan dalam hati. Perasaan-perasaan senang ketika kita berhasil, mungkin itu salah satu bentuknya. Akhirnya aku pikir, senang itu boleh, tetapi segera ingat itu semua karena Allah. Bukan berbangga diri, tapi bersyukur.

  2. jd introspeksi ( smbil trtohok ). seringnya ngrasa brada diposisi ‘right man’ lants ingin mluruskan yg ( bagi diri ) bengkok2 ^_^
    ‘ah itu mksdnya bkn bgtu’ ‘shrusnya km baca yg ini bkn yg itu’ ‘aku ingin kasitau tp tkut ilmu ikm blm nyampe’ astargfirullah hati ini bgtu rentan

Comments are closed.