Mengenal Syi’ah untuk Mewaspadai, dan Membinasakannya?

Aku mendengarkan baik-baik dan mencatat dengan teliti nasihat-nasihat Ibnu ‘Arabi.

1#

Berhati-hatilah engkau jangan sampai berdebat dalam suatu perkara agama. Sebab, engkau tidak luput dari salah satu dari dua hal: engkau benar atau engkau salah.

Jika orang awam mendengar perkataan yang salah dan mengalahkan orang yang benar -dan dalam pandangannya, ia seorang faqih- maka orang awam yang mengikutinya itu mengamalkan perkataan yang salah, karena ia melihat bahwa perkataan itu dapat mengalahkan orang yang benar, dan orang yang benar tidak mampu melawannya. Maka, dosa senantiasa melekat pada dirinya selama orang yang mendengar itu mengamalkan apa yang didengar darinya.

Nabi bersabda, “Aku jamin dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun ia benar dan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun dalam gurauan.”

2#

Hendaklah engkau mengamalkan ilmu dalam segala gerak dan diammu. Kedermawanan sempurna adalah kedermawanan orang yang mendermakan ilmu kepada dirinya. Dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah atas dirinya, ia mengetahui, mengamalkan, dan mengajari orang yang belum tahu.

Janganlah engkau menjadi orang yang berilmu tetapi tidak beramal. Sebab, engkau akan menjadi seperti pelita atau lilin. Engkau terangi manusia, sedang dirimu sendiri terbakar. Jika engkau berilmu, maka Allah memberimu pemisah antara kebaikan dan keburukan, serta cahaya. Pengamalannya akan memberimu ilmu lain yang tidak pernah engkau ketahui berupa ilmu tentang Allah dan memberi manfaat di sisi Allah pada akhir hayatmu.

Bersungguh-sungguhlah untuk menjadi ulama yang beramal dan memberi petunjuk.

3#

Hendaklah engkau menegakkan hukum Allah atas dirimu sendiri dan atas orang-orang yang berada di bawah kekuasaanmu, karena engkau akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah tentang hal itu. Jika engkau memiliki kekuasaan, pastikan engkau dapat menegakkan hukum Allah atas orang-orang yang Allah kuasakan kepadamu. Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

4#

Hendaklah engkau melakukan jihad paling besar, yaitu jihad melawan hawa nafsumu sendiri, karena hawa nafsu adalah musuhmu yang paling besar dan yang paling dekat mengelilingimu. Ia ada dalam dirimu. Tidak ada yang paling keras kekufurannya pada dirimu selain hawa nafsumu. Ia ada dalam setiap tarikan napas yang keluar, dan mengingkari nikmat Allah yang diberikan kepadamu.

5#

Hendaklah engkau memperlakukan setiap orang Muslim sebagai Muslim. Perlakukan mereka secara sama sebagaimana Islam memandang sama dalam wujud mereka. Rasul bersabda, “Darah kaum Muslim adalah sama. Sebagian dari mereka melindungi orang yang lemah di antara mereka. Mereka ibarat satu tangan bagi orang selain diri mereka.” “Kaum Muslim seperti satu tubuh. Jika matanya terasa sakit, maka seluruh anggota tubuhnya pun terasa sakit. Dan jika kepalanya terasa sakit, maka seluruh anggota tubuhnya terasa sakit juga.” Dengan perumpamaan ini, maka tempatkanlah segala sesuatu pada tempat semestinya, sebagaimana engkau memperlakukan setiap anggota tubuhmu secara layak dan sesuai dengan penciptaannya.

Jika orang-orang Muslim berkumpul di dalam Islam, maka perlakukanlah mereka secara sama. Berikanlah hak orang yang berilmu, yakni penghormatan dan perhatian pada ucapannya. Berikanlah hak orang yang tidak berilmu, yakni peringatan dan perhatianmu kepadanya untuk menuntut ilmu dan kebahagiaan. Berikanlah hak orang yang lalai agar ia sadar dari kelalaiannya dengan mengingatkan apa yang dilalaikannya, yang diketahuinya tetapi ia tidak menggunakan ilmunya itu. Demikian pula halnya kepada orang yang taat dan yang menyimpang. Berikanlah hak seorang pemimpin dengan mendengar dan menaati apa yang boleh lakukan dan tinggalkan.  … Berikanlah hak orang kecil, yakni keramahan, kasih sayang dan belas kasihan kepadanya. Berikanlah hak orang besar, yakni kemuliaan dan penghormatan.

Hendaklah engkau menyayangi seluruh makhluk dan melindungi mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah dan ciptaan-Nya, kendati mereka berbuat maksiat. Sebagian dari mereka memiliki kelebihan atas sebagian yang lain. Jika engkau berbuat demikian, maka engkau akan diberi pahala. … Tidakkah engkau perhatikan hadist yang mengungkapkan ihwal seorang wanita pelacur? Ada seorang wanita pelacur dari kalangan Bani Israil melewati seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya karena kehausan di depan sebuah sumur. Ketika melihat keadaan anjing seperti itu, ia pun melepas sepatunya dan menggunakannya untuk mengambil air dari sumur. Ia memberi minum anjing itu. Maka Allah mensyukuri perbuatannya, dan karena anjing itu Dia mengampuni dosanya.

6#

Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang terzalimi. Pertolonganmu kepada yang zalim disebabkan ia juga terzalimi. Setan telah menzaliminya dengan membisiki dirinya untuk menzalimi orang lain. Pertolonganmu kepadanya ialah dengan membantu menolak apa yang dibisikkan setan kepadanya untuk menganggap baik perbuatan zalim kepada orang lain sehingga ia disebut orang zalim. … Jika engkau mencelanya, celalah ia dengan nasihat dan penjelasanmu kepadanya… Jika engkau berbuat demikian, maka engkau telah menolongnya, meski ia seorang yang zalim. Kemudian ia berhenti dari kezalimannya itu dan bertaubat.

Rasul bersabda, “Aku tidak ingin membiasakan lisanku kecuali dengan perkataan yang baik.”

Bicaralah kebaikan. Semua manusia pun berbicara, jadilah engkau pembicara terbaik yang didengar.

***

Bicaralah kebaikan. Tuliskanlah kebaikan. Hidupkanlah kebaikan.

Aku tahu, menulis ini… mungkin, tidak akan ada banyak yang membacanya. Mereka mungkin terhenti pada beberapa paragraf pertama dan kembali pada kondisi mereka semula. Karena itu, pertama, aku mengatakan bahwa, ada benarnya bahwa aku bodoh, tapi aku tetap bisa menangis lantaran sebuah kekhawatiran, ketakutan, juga rasa bersalah karena menjadi seorang yang lemah, yang mana kemampuan terbesarnya hanya memperhatikan perkataan orang-orang berilmu yang bijak, sedikit berpikir, dan menuliskannya.

Kedua, benar, tulisan ini adalah tentang Syi’ah yang oleh sebagian besar kita yang Sunni tak dianggap melainkan sebagai golongan yang tersesat dan menyimpang. Aku tahu aku bodoh, mungkin naif, dan banyak menggunakan perasaan. Aku hanya seorang perempuan. Aku bukan ulama. Aku bukan penghafal Al Quran dan hadist, melainkan hanya pembacanya yang lambat. Aku tak mampu berbahasa Arab, bukan sarjana ilmu agama, bukan seorang profesor atau doktor. Aku tak pantas bicara atau mendebat siapapun di antara mereka yang terhormat, cendekia, dan taat, serta tahu lebih banyak perkara agama. Meskipun demikian, aku bisa ikut memikirkan sesuatu bahwa betapa pun dari perspektif kita, kita tak bisa memandang mereka Syi’ah sebagai penganut Islam yang lurus, bahwa mereka pada akhirnya bukan saudara sesama Muslim lantaran pada dasarnya mereka telah dikafirkan oleh ulama-ulama Sunni kita, kita tetap tidak dapat memandang mereka sebagai bukan hamba dan makhluk Allah.

Seorang teman memberiku buku “Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” yang disusun oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat berjudul dan baru saja aku selesai membacanya. Buku ini sedang disebarluaskan demi tujuan agar umat Islam Indonesia tidak terpengaruh oleh paham Syi’ah dan dapat terhindar dari bahaya yang akan mengganggu stabilitas dan keutuhan negara Indonesia, agar tidak ada lagi upaya untuk mendakwahkan ajaran Syi’ah di tengah umat karena ajaran tersebut tidak sesuai dengan akidah dan kultur umat Islam di Indonesia (h. 9-10).

Buku ini dibuat lantaran permintaan sejumlah masyrakat muslim terkait kejelasan sikap MUI tentang paham Syi’ah. Menulis buku ini, MUI menjalankan perannya sebagai penangkal usaha pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil yang dapat merusak kemurnian dan kemantapan hidup ber-Islam di Indonesia. Buku ini dipandang merupakan solusi proaktif, responsif, dan preventif atas problem akidah umat dan pengamalan syariah Islam yang diganggu oleh munculnya aliran dan paham yang menyimpang dan menyesatkan, dari dalam maupun luar negeri. Dan, buku ini adalah wujud usaha MUI menjalankan kewajibannya sebagi pemagar dan pengayom umat agar terhindar dari upaya penyesatan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama (h. 11-18).

Hal di atas itu pada benar adanya dan diperlukan. Ini adalah kelegaan bagi banyak orang; akhirnya terang, jelas, dan tegas tentang status ajaran Syi’ah setelah otoritas keagamaan Islam di Indonesia menyatakan demikian. Dengan adanya buku ini, pagar itu ibaratnya telah tinggi dan kokoh, melingkungi dan melindungi masyarakat dari ajaran yang sesat dan menyimpang. Buku ini membuat masyarakat mengenal Syi’ah dan diharapkan setelah ini masyarakat akan mewaspadai, berhati-hati, tidak terpengaruh olehnya.

Meskipun demikian, buku ini aku rasakan kekurangan satu sentuhan terpenting yang seharusnya ada: pendidikan hidup beragama. Buku ini baru memberikan informasi dan pernyataan sikap, tetapi belum menasihatkan atau mendidik masyarakat tentang bagaimana sikap dan tindakan yang bijak menghadapi keadaan yang sungguh sangat berpotensi memunculkan konflik horizontal ini. Dalam perumpamaan, buku ini baru berkata api itu berbahaya, tetapi belum mengajarkan apa dan bagaimana yang seharusnya kita lakukan terhadap bahaya api dan api itu sendiri sebagai salah satu ciptaan Allah. Buku ini kekurangan rasa kasih sayang yang seharusnya dapat diberikan setelah fakta dan data yang dingin, serta pemikiran dan argumentasi yang masuk akal itu dipaparkan.

Apakah ini cerminan keberagamaan kita secara umum? Beragama tanpa kehangatan dan akhlak mulia. Aku selalu berkeyakinan bahwa bukan kebenaran yang sesungguhnya menjadikan kita menang, tetapi sikap dan tindakan setelah kebenaran itu ada di tangan dan di dalam hati kita. Apakah kita dapat dikatakan melakukan yang benar jika kebenaran itu menjadi justifikasi bagi kita untuk membuat tulisan serta menyebarkan berita dan gambar tentang “kejijikan dan kekejian” perilaku penganut Syi’ah di media sosial, melakukan demonstrasi, mengancam, dan menyerang komunitas-komunitas Syi’ah. Jika kemudian turun berita di media masa tentang terjadinya suatu insiden kekerasan terhadap minoritas Syi’ah, siapakah yang melakukan penghancuran, pengrusakan dan pembakaran, serta pembunuhan itu? Bukankah ada penganut Sunni di situ? Apa yang akan terjadi pada kita jika di satu sisi kita menegakkan kalimat Allah, tetapi di sisi lain kita mengingkari kalimat-Nya lain?

Apa artinya sebuah buku jika ia tidak berhasil membidik tujuan yang seharusnya? Pada akhirnya, bukan identitas Sunni yang membawa kita menuju ke-Ridha-an Allah, melainkan bagaimana sikap dan tindakan kita setelah kita menyatakan bahwa diri kita adalah seorang Sunni. Mungkin benar bahwa Syi’ah mengkafirkan Sunni, tetapi jika kemudian Sunni mengkafirkan Syi’ah padahal Tuhan dan Rasul Syi’ah dan Sunni masih sama-sama Allah dan Nabi Muhammad, maka peringatan pada hal. 70 buku “Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” perlu dicamkan baik-baik oleh kita semua: “Jika seseorang mengkafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR Muslim)

Bagi diriku sendiri, belajar dari semua ini aku menyimpulkan: manusia itu sungguh juga diuji Allah dengan kebenaran-kebenaran yang diyakini atau yang disangkanya benar. Ya, kebenaran-kebanaran yang membuat seseorang percaya diri, berani, berbangga diri, merasa aman, dan tidak bersalah, lalu dengan mudahnya menyalahkan orang lain dan berbuat apa saja atas diri orang lain itu… Semoga Allah melindungiku, kau, kita, dari termasuk ke dalam golongan manusia yang tertipu/ menipu dirinya sendiri; merasa telah berbuat yang benar, tetapi sesungguhnya sedang merusak.

***

Dan sesungguhnya di hari kiamat akan Dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.

QS An Nahl 16: 92

7 thoughts on “Mengenal Syi’ah untuk Mewaspadai, dan Membinasakannya?

  1. apakah sampean hendak bilang kalau tukang nelorin fatwa itu kudu belajar strategi komunikasi agar fatwanya ditaati dan bukannya diketawain?

  2. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
    Sekedar ingin berbagi nasihat atas tulisan saudari, pada bagian awal saya rasa nasihat Ibnu ‘Arabi ditujukan kepada siapa?? Kepada orang muslim, orang-orang yang seantiasa merujuk kepada kebenaran.. Bukan orang-orang yang berusaha merong-rong dan menghancurkan agama Islam ini(Syiah)..
    Maka perumpamaan Sunni dan Syiah laksana mata air yang jernih dan (maaf) “air comberan” . Bagaimana bisa yang haq dan yang bathil bersatu/campur aduk? Keduanya saling bertentangan dan pertentangan tersebut tidak akan ada pangkal ujungnya sampai salah satu diantaranya melebur menjadi satu bagian.
    1. Sunni menjadi Syiah, maka ini sebuah MUSIBAH. (Saya berlindung kepada Allah, dan megharap kepadaNya agar kaum muslimin terjaga dari paham2 syiah. Aamin ya Rabbal’aalamin).

    2. Syi’ah menjadi Sunni, maka ini yang kita harapkan, Semoga Allah memberi petunjuk kepada orang2 yang terkontaminasi paham Syiah.

    #Para Ulama Sunni, Ahlussunnah wal Jama’ah, yang meniti jejak Salaf, MUSTAHIL dan TIDAK MUNGKIN bersepakat dalam KEBOHONGAN. MUSTAHIL Mereka membohongi umat.

    Berbeda dengan “ulama” Syiah, yang mana dalam ajaran Syiah dibolehkan bertaqiyah.Menurut Syi’ah taqiyah berarti perbuatan seseorang yang menampakkan sesuatu berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya, artinya nifaq dan menipu dalam usaha mengelabui atau mengecoh manusia.
    Ibnu Babawaih mengatakan:“Keyakinan kami tentang taqiyah itu adalah dia itu wajib. Barangsiapa meninggalkannya maka sama dengan meninggalkan shalat.”[Al-I’tiqadat, hal.114].
    Adakah keyakinan itu dalam ISLAM??

    #Perkataan ULAMA SEJATI/ULAMA yang sesungguhnya yang memang benar-benar ULAMA, bukan ulama Palsu/Abal-abal:

    1.Imam Malik –rahimahullah- (w 179) berkata, “Orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki tempat dalam Islam.” (Sunnah, Al Khallal, 1/493)

    Beliau juga pernah ditanya bagaimana menyikapi orang-orang rafidhah, maka ia menjawab, “Jangan berbicara kepada mereka dan jangan bersikap manis, karena mereka semua pendusta.” (Minhaj Sunnah, 1/61)

    2. Al Qadhi Abu Yusuf –rahimahullah- (w 182) berkata, “Saya tidak shalat dibelakang seorang Jahmi, Rafidhi (penganut syi’ah rafidhah) dan qadari (penganut qadariyyah).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 4/733)

    3. Imam Syafi’i –rahimahullah- (w 204) berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari kalangan pengekor hawa nafsu yang paling berdusta dalam pengakuan dan paling palsu dalam kesaksian melebihi orang-orang rafidah.” (Ibnu Bathah dalam Al Ibanah Al Kubra, 2/545)

    4.Muhammad bin Yususf Al Faryabi –rahimahullah- (w 212) berkata, “Saya tidak memandang orang-orang rafidhah dan jahmiyah melainkan kezindikan (kufur).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 8/1457)

    5.Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- (w 241) ketika ditanya oleh anak beliau Abdullah bin Ahmad perihal orang yang mencela seorang sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berkata, “Aku tidak memandangnya berada diatas Islam.” (Sunnah, Al Khallal, 1/493)

    6.Imam Bukhari –rahimahullah- (w 256) berkata, “Aku shalat dibelakang seorang jahmi atau rafidhy sama dengan shalat dibelakang yahudi atau nasrani. Tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, membantu mereka, menikah, memberi kesaksian dan memakan sembelihan-sembelihan mereka.” (Khalq af’aal Al Ibaad, hal. 125)

    7.Abu Bakar Ibnul Arabi –rahimahullah- (w 543) berkata, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak merasa ridha dengan para sahabat Nabi Musa dan Nabi Isa. Orang-orang rafidhah pun tidak merasa ridha dengan para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mereka menghukumi bahwa para sahabat Nabi itu telah bersepakat dalam kekufuran dan kebatilan.” (Al ‘Awashim wal Qawashim, hal. 192)

    8.Ibnul Jauzi –rahimahullah- (w 597) berkata, “Sikap berlebihan orang-orang rafidhah dalam mencintai Ali radhiyallahu ‘anhu telah membuat mereka mengarang hadis-hadis palsu yang sangat banyak tentang keutamaan Ali, yang kebanyakannya malah menjelekkan Ali. Mereka juga memiliki madzhab-madzhab dalam fikih yang dibuat-buat, khurafat-khurafat yang menyelisihi ijma dalam banyak permasalahan … Keburukan-keburukan rafidhah tidak terhitung jumlahnya.” (Talbis Iblis, hal. 136-137)

    9.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- (w 728) berkata, “Allah mengetahui, dan cukuplah Allah yang Mahamengetahui, tidak adalah dalam seluruh kelompok yang menisbatkan kepada Islam dengan kebid’ahan dan kesesatan yang lebih parah dari mereka (orang-orang syi’ah rafidhah), tidak adalah yang lebih bodoh, lebih pendusta, lebih zalim, lebih dekat kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, serta lebih jauh dari hakikat iman melebihi mereka (orang-orang syi’ah rafidah).” (Minhaj Sunnah, 1/160)

    10.Beliau juga berkata, “Mereka orang-orang rafidah itu, jika tidak munafik, maka bodoh. Tidak ada orang jahmiyah dan tidak ada orang rafidhah kecuali ia itu munafik atau bodoh dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu pun dari mereka yang alim tentang ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhaj Sunnah, 1/161)

    11.Ibnul Qayyim –rahimahullah- (w 751) berkata, “Orang-orang rafidah mengeluarkan kekufuran, celaan terhadap para tokoh sahabat, golongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pembela dan penolongnya dibalik nama cinta terhadap ahli bait, fanatisme dan loyalitas terhadap mereka.” (Ighastatul Lahfaan, 2/75)

    12.Ibnu Katsir –rahimahullah- (w 774) berkata, “Akan tetapi mereka itu (orang-orang syi’ah rafidhah) adalah kelompok yang sesat, golongan yang rendah, mereka berpegang kepada dalil-dalil yang mutasyabih (samar) dan meninggalkan perkara-perkara yang muhkamah (jelas) disisi para ulama Islam.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/251)

    13.Komisi Tetap Untuk Fatwa dan Riset Kerajaan Saudi Arabia ditanya tentang akidah Syi’ah, mereka menjawab, “Aliran Syi’ah imamiyyah itsna asyriyyah adalah madzhab bid’ah dalam Islam, pokoknya dan juga cabangnya.”

    Dalam fatwa yang lain, “Sesungguhnya Syi’ah Imamiyyah itsna ‘asyriyyah telah menukilkan dalam buku-buku mereka dari tokoh-tokoh mereka bahwa Alquran yang dikumpulkan oleh Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu anhu melalui para penghapal Alquran di kalangan para sahabat itu terjadi perubahan dengan tambahan dan pengurangan serta penggantian sebagian kata dan kalimatnya, begitu pula dengan penghapusan sebagian ayat dan surat. Hal itu terdapat dalam kitab “Fashlul Khithab fii Tahriif Kitab Rabbil Arbaab” yang ditulis oleh Husain bin Muhammad Taqiyyun Nuri Ath Thabrasi tentang perubahan Alquran. Begitu juga dalam buku-buku yang lain yang ditulis untuk membela rafidah dan mendukung aliran mereka seperti “Minhaj Al Karamah” karya Ibnul Muthahhir.

    Mereka juga berpaling dari kitab-kitab sunnah yang shahih seperti shahih Bukhari dan Muslim. Mereka tidak menganggapnya sebagai rujukan dalam berdalil atas hukum-hukum, baik dalam masalah akidah atau pun fikih. Mereka juga tidak memakainya dalam menafsirkan dan menjelaskan Alquran …” (1/268 fatwa no. 9420)

    Demikian wahai Saudariku, semoga engkau merenungkan kembali tulisan yang engkau tulis. Saya mengerti perasaan Saudari, bahwa Saudari tidak ingin ada pertumpahan darah antara Sunni dan Syiah.. Atau barangkali umat Islam dengan umat di luar Islam.. Yah sepakat, karna Islam adalah ajaran yang membawa rahmat bagi semesta alam.. Namun ketika pokok-pokok Aqidah Islam diselewengkan, tentunya kita tidak boleh tinggal diam. Solusinya: mensucikan penganut Syiah agar kembali ke ajaran Islam yang benar dengan cara-cara hikmah tentunya.

    Wallahu a’lamu

    Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

    Bumi Allah,Selatan Jakarta
    Saudaramu se iman, se aqidah.

    PinginHidupMulia

    • Ya. Selamat berjuang dengan yang kamu yakini. Saya akan bekerja dengan apa yang saya yakini bahwa:

      Manusia itu sungguh juga diuji Allah dengan kebenaran-kebenaran yang diyakini atau yang disangkanya benar. Ya, kebenaran-kebanaran yang membuat seseorang percaya diri, berani, berbangga diri, merasa aman, dan tidak bersalah, lalu dengan mudahnya menyalahkan orang lain dan berbuat apa saja atas diri orang lain itu… Semoga Allah melindungiku, kau, kita, dari termasuk ke dalam golongan manusia yang tertipu/ menipu dirinya sendiri; merasa telah berbuat yang benar, tetapi sesungguhnya sedang merusak.

      Pada akhirnya, bukan identitas Sunni yang membawa kita menuju ke-Ridha-an Allah, melainkan bagaimana sikap dan tindakan kita setelah kita menyatakan bahwa diri kita adalah seorang Sunni. Bukan kebenaran yang sesungguhnya menjadikan kita menang, tetapi sikap dan tindakan setelah kebenaran itu ada di tangan dan di dalam hati kita.

      I won’t answer more than this. 😀

  3. Kalau ingin menulis tentang “penyimpangan Syiah” seharusnya MUI bekerja sama dengan ulama Syiah, karena benar bahwa di dalam Syiah ada orang-orang yang melakukan penyimpangan, sebagaimana di dalam ahlusunah dan Islam secara umum, ada juga orang-orang yang melakukan penyimpangan.

    Tapi karena orang kita kebanyakan beragama secara awam, dan mudah mengeneralisir, mereka yang membaca akan dengan mudah mengatakan bahwa seluruh dan semua pengikut Syiah adalah menyimpang. Dampaknya tidak lain adalah kekerasan.

    • Saya setuju dengan pendapat saudara. Yang baru-baru saja dilakukan, seperti berperang dengan pemikiran. Jika benar-benar ingin meluruskan yang bengkok, alangkah baiknya jika semua bisa duduk satu meja dan mengkaji persoalan ini.

  4. Pingback: Reaching Dream Bag. 16: Dunia di Luar Tempurung | I love life, life loves me.

Comments are closed.