Pengetahuan, Realitas, Kemajuan, & Kebenaran

1#

PENGETAHUAN DAN REALITAS

Realitas: Apa yang ada dan apa yang nyata

Merenungkan kehidupan dengan kompleksitasnya, dapat dipahami bahwa realitas itu tidak hanya ada satu. Realitas memiliki tingkatan dan berlapis-lapis. Ada dunia di permukaan, ada dunia di kedalaman. Ada dunia yang tampak oleh mata, ada dunia yang eksis di balik hijab (penghalang).

Tahu dan tidak tahu dapat terjadi secara bersamaan.

Contoh: perilaku manusia adalah hal yang tampak di permukaan. Dengan melihat saja, kita tahu apa yang dilakukan seseorang. Namun, niat di balik perilaku itu ada di dunia yang lebih dalam. Dengan penglihatan sejernih apapun, kita tidak akan pernah bisa menyaksikan apa yang terjadi di dalam benak dan hati seseorang.

Terhadap satu objek yang sama, kita dapat sangat tahu sekaligus sangat tidak tahu.

Contoh: Air dan matahari adalah eksistensi yang umum. Dengan pengetahuan biasa, kita tahu betul apa itu air dan matahari dan fungsinya dalam kehidupan. Air untuk minum, matahari menerangi dunia. Dengan tambahan pengetahuan dari sekolah, lewat pelajaran kimia dan fisika misalnya, kita tahu apa itu H2O dan bintang. Namun, butuh pengetahuan yang jauh lebih dalam lagi untuk mengetahui bagaimana air dan matahari dan matahari ada, asal-muasalnya, sifat-sifat zatnya, atom-atom dan partikel-partikel penyusunannya, reaksi-reaksi yang terjadi pada dirinya, potensi manfaat dan bahayanya, dan sebagainya.

Realitas mengungkapkan diri sesuai kapasitas orang yang melihatnya. Ia membatasi dan membuka dirinya sesuai daya cerap seseorang.

Contoh: tentang bulan. Bagi orang awam, bulan adalah dan hanyalah benda langit berbentuk bulan yang terang di malam hari dan hilang di siang hari, berguna membantu manusia untuk menghitung waktu dan menentukan kapan mulai puasa, kapan mulai berhari raya. Namun, bagi para astronom yang setiap saat mengamati bulan, mereka menemukan jawaban mengapa bulan tetap ada di langit, mengapa bentuknya bulat, mengapa ia terang, mengapa ia berubah-ubah wujud sedemikian rupa dari waktu ke waktu. Mereka melakukan hal-hal yang tidak ada artinya bagi orang awam, seperti mengukur jarak bulan dari bumi, kecepatan rotasinya, dan menemukan hal-hal yang tidah ada gunanya bagi orang awam, seperti bahwa bulan bergerak menjauh bumi sebesar 3,78 cm per tahunnya.

Ketika seseorang mengaku dia tahu sesuatu, sebetulnya itu terjadi di level kenyataan tertentu saja. Ada orang yang sangat menguasai apa yang terjadi di permukaan, tetapi mengabaikan apa yang terjadi di kedalamannya. Ada orang yang hanya menerima apa yang dilihat mata lahiriahnya saja, ada yang berusaha mengenal Dia yang tersembunyi dengan mata hatinya.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya.”

Alam semesta yang kita alami sebagai realitas adalah tanda. Segala yang ada adalah penanda atas sesuatu, tetapi hanya hati yang di dalamnya ada iman yang menemukan Dia yang menciptakan tanda-tanda, meski mata tak melihat-Nya.

Banyak orang mengimani keluasan pengetahuan Tuhan hanya berdasarkan dalil, bukan melalui merasakan sendiri penyelaman ke dalam lautan ilmu. Belajar ilmu ibarat berdiri di tepian pantai. Ketika seseorang belajar sedikit, hanya seujung kuku kakinya yang basah. Ia masih dapat melihat kaki langit. Ketika ia belajar sedikit lebih banyak, ia mulai terbenam hingga mata kaki. Ia belajar lebih banyak lagi, ia terbenak hingga lutut. Ia belajar jauh lebih banyak lagi, ia masuk hingga pinggang. Ketika ia mempelajari ilmu dengan sepenuhnya, ia menenggelamkan diri. Horizon di permukaan menghilang, berganti lautan yang tak tampak dasar dan tak tampak batasnya. Ini realitas yang jauh berbeda dari yang sebelumnya ia lihat ketika ia berada di luar ilmu.

Ketika seseorang merasa ilmunya sudah puncak dan menilai tak ada yang lebih benar lagi dari apa yang dia yakini/ kuasai, sebetulnya itu tanda bahwa ia tidak tahu. Pengetahuan yang awalnya menjadi pintu masuk untuk meraih pencerahan pikiran, kini menjadi hijab yang membatasinya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna. Ketika ia tak memiliki pertanyaan lagi, tak mencari lagi, dan tak belajar lagi, dia akan dibiarkan di level itu saja dan tidak akan maju ke samudera pengetahuan yang lebih dalam tempat mutiara-mutiara berharga tersimpan.

***

2#

KEMAJUAN

Maju: gerak ke depan menuju tujuan yang didorong oleh adanya perkembangan, pemutakhiran, dan perbaikan.

Kemajuan adalah kata yang indah, impian banyak orang. Paling mudah menilai adanya kemajuan lewat apa yang modern.

Modern: terkini, termutakhir, terdepan. Dalam hal apa yang kita kenakan dan kita manfaatkan, bisa itu produk-produk, teknologi, cara dan metode, ilmu pengetahuan, atau gagasan dan pemikiran.

Namun begitu, kemajuan adalah keadaan yang amat sulit dipertahankan. Kemajuan adalah keadaan yang tentatif. Hal lama yang kita gunakan hari ini, dulu pernah merupakan hal yang baru. Apa yang baru kita gunakan hari ini akan menjadi usang di masa depan. Sepanjang tidak ada pemutakhiran, barang yang dulu baru jika sampai kini masih kita gunakan, akan membuat kita otomatis tertinggal. Berlalu satu hari, tertinggal satu hari. Berlalu satu bulan, kita tertingal satu bulan. Baru berlalu setahun atau sepuluh tahun, mungkin belum banyak yang berbeda, kita masih bisa mengejar. Namun, berlalu satu abad, dunia dan zaman sudah berubah.

Apa yang pernah berguna dapat menjadi tidak berguna lagi.

Untuk mempertahankan kemajuan, orang atau sekelompok orang harus tetap berada di depan. Ia harus berubah lebih dulu, sebelum orang-orang yang tertinggal sadar dan mengejar; melakukan hal yang tidak dilakukan orang-orang lain sebelumnya. Untuk mengejar ketertinggalan, orang atau sekelompok orang harus mau berubah, mengikuti apa yang ditunjukkan orang-orang yang telah berada lebih dulu di depan.

Biaya untuk mempertahankan kemajuan maupun mengejar ketertinggalan ini sangat mahal. Dengan dinamika dunia yang cepat berubah seperti saat ini, tak terhingga sumber daya pikiran, tenaga, finansial, dan waktu yang harus dicurahkan ketika tertertinggalan sudah terlalu jauh.

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada.”

Cita-cita kemajuan adalah visi yang mulia. Namun, hasrat untuk selalu menjadi yang maju sementara kemajuan itu hanya berusaha dipertahankan dengan klaim dan argumen bukan inovasi, sikap belajar dan kemauan bertumbuh-berubah, hanyalah sebentuk egoisme. Mau tidak mau, sama seperti kejayaan, kemajuan pun dipergilirkan kepada siapa saja yang mau mengambil pelajaran dan melakukan perbaikan. Ini sunatullah.

Pada puncak kejayaan, sangat sulit tetap berada di puncak sehingga satu-satunya pilihan hanya jalan menurun. Saat berada di puncak, banyak orang tak sanggup menjaga etika dan kesederhanaan, mulai memuji-muji diri/ kelompok sendiri, dan merasa tak ada yang lebih benar ketimbang ini. Orang kehilangan objektivitasnya karena terlalu cinta pada diri/ kelompoknya. Orang kehilangan akal sehatnya, puas dengan keadaan sekarang, lupa perlombaan kebaikan masih berlangsung.

***

3#

APA ITU BENAR

Dalam filsafat pengetahuan, ada kajian menarik tentang teori kebenaran. Sebetulnya, lebih menarik lagi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya orang banyak berusaha untuk mencari kebenaran dan menjadi benar. Lebih sedikit yang mendahului usaha itu dengan bertanya lebih dahulu, “Apa itu benar? Kapan atau mengapa sesuatu itu disebut benar?”

Umumnya orang yakin bahwa kebenaran itu hanya satu, yaitu yang ada pada diri atau kelompok mereka. Bagi mereka, mudah sekali menarik garis antara benar dan salah, hitam dan putih, dan menyalahkan. Realitasnya, dalam kehidupan dan kompleksitas perilaku manusia, kebenaran itu membantuk kontinum, bukan kondisi yang dikotomis. Di atas yang benar, ada yang lebih benar, yang jauh lebih benar, dan jauh-jauh lebih benar. Di bawah yang benar itu pun serupa, ada yang kurang benar dan seterusnya. Butuh yang lebih ekstrem lagi hingga sesuatu dapat kita nyatakan salah dan benar-benar salah.

Kondisi ini membuat seseorang seharusnya memperkuat urat toleransinya ketika mendapati perbedaan pendapat, pemikiran, dan tindakan. Selalu ada kemungkinan, dalam apa yang kita yakini benar, ada sekian bagiannya yang bisa jadi salah. Kebalikannya, dalam apa yang kita yakini salah pun, ada sekian bagiannya yang bisa jadi benar.

Ada banyak faktor yang membentuk penilaian kita tentang apa yang benar. Paling tidak, untuk mengetahui status dan tingkat kebenaran sesuatu, ada beberapa kriteria: kesesuaian dengan fakta/ realitas, kesesuaian dengan norma, kemanfaatan/ konsekuensi pada praksisnya, konsensus/ kesepakatan bersama, dan proses konstruktifnya.

Yang membuat apa yang benar itu sulit ditangkap adalah landasan di mana kebenaran itu dibangun senantiasa berubah, kerap kali tidak ajeg. Fakta dan realitas dapat berubah mengikuti perubahan objek (dapat berwujud benda, peristiwa, situasi, atau pengalaman). Norma dapat berubah mengikuti perkembangan pemaknaan (misalnya atas teks sumber norma itu atau persepsi/ penilaian atas situasi di mana masalah terjadi). Kemanfaatan dapat berubah mengikuti perubahan kebutuhan dan kepentingan. Konsensus dapat berubah dikarenakan anggota dalam kelompok yang bersepakat dapat berganti. Proses konstruktif dapat berubah dengan adanya pertambahan atau akumulasi pengetahuan.

Contoh 1: mengikuti norma bahwa memberi itu baik, memberi uang pada orang adalah tindakan yang benar untuk dilakukan saat kita mampu. Namun, memberi uang ke tangan bayi membuat kebenaran ini berkurang. Bayi tidak mengerti uang dan belum membutuhkan uang. Pemberian itu tidak akan berarti baginya. Lain jika kita berikan pada orangtuanya, ini lebih benar. Memberi hanya Rp5ribu kepada anak kecil yang baru tahu dan cuma tahu uang itu untuk jajan, cukup benar untuk sekadar menyenangkan hati. Namun, memberi hanya Rp5ribu kepada saudara yang kekurangan adalah salah besar.

Contoh 2: beberapa abad yang lalu, ada ada yang mempersoalkan konsumsi daun coca di kalangan masyarakat Peru. Tidak ada konsekuensi hukumnya, karena ini adalah norma budaya masyarakat itu. Waktu berlalu, realitas berkembang. Inovasi teknologi membuat orang menemukan cara untuk mengolah coca menjadi kokain yang efeknya berbahaya dan mudharatnya jauh lebih besar. Menanam coca tanpa izin dilarang di seluruh dunia. Di Peru, konsumsinya pun dibatasi hanya untuk masyarakat adat/ tradisional. Konsumsi coca saat ini tidak lagi sebenar dulu.

Contoh 3: kita salat, ini benar. Apakah kita salat dengan memanjangkan bacaan, ini benar. Namun, ketika kita kemiliki makmum yang memiliki beragam kepentingan dan kebutuhan, memperpanjang salat menjadi kurang kebenarannya. Salat dengan kecepatan yang normal adalah lebih benar dalam situasi ini.

Kebenaran itu bukan obat ajaib, di mana satu kebenaran bisa untuk menyelesaikan semua masalah di semua situasi. Hanya berpegangan pada satu konsep kebenaran justru menunjukkan kesempitan pikiran, karena kita tidak melihat beragam variasi alternatif yang sama-sama memiliki nilai kebenaran. Mengubah pendapat, pemikiran, dan tindakan adalah hal yang mungkin diperlukan tanpa harus menimbulkan rasa bersalah.

Selama masih hidup dunia, kebenaran itu tidak permanen. Ini yang saya yakini. Kebenaran itu bahkan bisa jadi seperti jarum yang tersembunyi di tumpukan jerami. Ada banyak komplikasi yang dapat terjadi dan mempersulit usaha menemukan/ membangun apa yang benar. Fakta dapat diputarbalikkan, diinterpretasi seenak udel. Penafsiran atas norma dan hukum dapat ditarik-ulur, serta dipelintir. Kebutuhan dapat diada-adakan, tidak ada kepentingan yang abadi. Orang-orang yang berkonsensus dapat bersepakat demi memperjuangkan kepentingan pribadi, bukan kemaslahatan umum.

Karena itu, sebaik apapun kita merasa tahu dan yakin dengan apa yang kita nilai benar, sekeras apapun kita sudah berpikir dan berusaha untuk mencapai kebenaran itu, ada satu doa yang tidak dapat ditinggalkan, “Kepada Engkau kami menyembang, dan kepada Engkau kami memohon pertolongan. Tunjukkan kami jalan yang lurus…”