Dilema Mengenal Diri, “Tes-(nge)tes” Psikologi

1#

Apa bahagianya jadi anak psikologi kalau yang populer ditanya orang hanya, “Berarti, bisa membaca orang, ya?” Kapan dunia akan berhenti memperlakukan kita seperti ini? Dan, aku banyak bertanya mengapa. “Berarti, bisa menebak kepribadian orang?” Seandainya aku memang bisa menebak kepribadian orang, apa hebatnya kemampuan itu?

Terakhir kali aku mendapatkan pertanyaan itu beberapa waktu yang lalu, dalam hati aku: “Lagi?” Tapi, aku hampir tidak percaya aku bisa menjawab begini, karena baru kali itu keluar kalimat seperti itu, kurang lebih: “Memang bisa, kan diajarkan, macam bagaimana mengamati dan membaca emosi, ekspresi nonverbal dan bahasa tubuh. Lalu, ada macam-macam tes untuk menguak kepribadian orang…”

(Yes/no question berubah menjadi open-ended question ^^, siapa yang bisa menerima ini? Entah. Dia hanya mendengarkan dan aku berambisi meluruskan satu hal.)

“… Tapi, sekalipun bisa, aku tidak mau. Yang semacam itu sering membuat kita terlalu percaya diri dalam menilai orang sehingga mudah terjebak dalam kesalahpahaman atau prasangka, sekalipun itu di luar kehendak kita. Kecuali dibutuhkan, dalam setting yang pasti semisal aktivitas recruitment yang tujuannya jelas dan aku memang diberikan kewenangan dan kepercayaan untuk membuat suatu penilaian, aku tidak mau melakukannya.”

Kemampuan memahami manusia memang mutlak dibutuhkan ketika belajar psikologi, tetapi bisa memahami orang adalah tugas siapa saja, bukan milik anak psikologi seorang. Karena ini isu yang universal, permasalahan yang meliputinya juga universal. Tidak ada jaminan orang yang belajar psikologi lebih baik dalam memahami dan bebas dari kesalahpahaman atau prasangka. Anak psikologi justru dituntut untuk objektif dalam subjektifitasnya, tidak salah paham dan tidak berprasangka. Tindakannya perlu didasarkan pada ilmunya dan etika, minimal menurut kode etik profesinya.

Kita semua tahu sakitnya disalahpahami, bukan? Makanya, aku memegang prinsip ini.

***
2#

Tes psikologi rupanya adalah hal yang populer. Cari via internet, bertebaran situs-situs yang memuat tes-tes psikologi secara gratis. Tes-tes yang ditawarkan pun tak tanggung, canggih, dan ada yang bahkan tidak pernah diajarkan secara spesifik di kampus, macam MBTI, tes hemisfer otak, tes multiple intelligence, tes inteligensi yang simpel itu, dan sebagainya. Aku sendiri pernah mencoba dan memang asyik tahu hal yang seperti itu. Sepertinya, semua orang juga merasakan hal yang sama.

Asyik? Jadi seperti bisa menyimpulkan bahwa salah satu tujuan ditawarkannya tes-tes macam itu adalah hiburan. Psycho(edu)tainment (???) Selain buat “tahu-tahu saja”, ia jelas memberikan informasi yang bermanfaat, membantu menolong orang untuk lebih mengenal dirinya, memberikan pembelajaran. Tapi, yang aku merasa ngeri adalah bagaimana orang awam memahami hasilnya. Lagi-lagi ini menyangkut kesalahpahaman dalam memahami “buat apa sih” tes psikologi itu.

Secara teoretis, tujuan pengukuran (assesment) psikologi, lewat tes-tes psikologi itu adalah untuk mengklasifikasi, mendeskripsi, dan memprediksi diri seseorang, psychologically. Memang benar, dengan mengikuti tes psikologi, kita akan tahu diri kita ini termasuk yang mana (klasifikasi), seperti apa (deskripsi), dan ke depan sebaiknya bagaimana (prediksi).

Nah, satu “kesalahan” tes-tes yang tidak diselenggarakan secara resmi oleh biro psikologi adalah lemahnya fungsi prediksi. Ia membiarkan penggunanya membuat-buat sendiri dinamika psikologis dan prediksi tentang dirinya, sementara pengetahuan yang diberikan kepadanya murni psikologis dan terbatas. Ia tidak menyediakan jasa memprediksi atau dengan kata lain tidak “memberikan nasihat”. Jikalau nasihat itu ada, aneh menurutku, itu menyangkut urusan karier (kamu cocok bekerja di bidang ini), cinta (kamu cocok berpasangan dengan orang semacam ini), dan sebagainya, seperti horoskop saja.

(Bukannya tidak boleh, tapi ini sedikit misleading. Haha… Oia, namanya juga buat senang-senang ya.)

Aku beberapa kali melihat-lihat situs pribadi atau weblog orang yang “melaporkan kepada dunia” tentang hasil tes psikologinya, yang ia dapatkan dari sebuah situs internet. Jadi, ada beberapa hal yang aku takutkan bahwa ada beberapa orang, yang tidak sadar salah memahami penggunaan tes-tes ini. Dinamikanya kurang lebih begini:

1. “Kesenangan” mengikuti tes psikologi (online, misalnya) hanya sebatas pada didapatkan “tebakan yang tepat”, diekspresikan dalam kalimat (diambil dari salah satu situs): “semua pernyataan di atas tepat sekali !!” atau “pas banget ma gw.. Like this!!”

Kesalahannya, tes psikologi itu bukan sedang bermain tebak-tebakan. Hasil yang bisa tepat menggambarkan diri sebenarnya berasal dari diri sendiri yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Tes yang sifatnya self-inventory itu sebenarnya seperti mengartikan kembali dengan istilah yang lebih ilmiah persepsi yang kita miliki tentang diri kita sendiri. Jadi, kalau persepsi dirinya tepat dan tidak salah memasukkan jawaban, insya Allah hasil tesnya akan “pas banget ma gw”.

2. “Kesenangan” selanjutnya adalah menyangkut didapatkannya sebuah kejelasan: “akhirnya saya tahu mengapa selama ini saya disalahpahami oleh orang-orang”. Jawabannya: “mereka itu tidak tahu kalau tipe saya itu XYZ!” Atau: “akhirnya saya sadar mengapa saya seharusnya tidak merasa susah dengan karakter saya”. Jawabannya: “karena ternyata saya ini orang dengan tipe XYZ. Jadi, tidak ada yang salah!”

Meskipun yang demikian ada benarnya, pada sebagian kasus, ada yang salah, ketika “kejelasan” itu dipandang sebagai justifikasi, pembenaran, perilaku-perilaku kita yang pada kenyataannya memang menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang-orang di sekitar kita; memunculkan respon yang tidak menyenangkan dari orang-orang di sekitar kita. Seperti yang diekspresikan dalam kalimat berikut (dari sebuah situs):

“Ini adalah kisah orang-orang yang disalahpahami karena memang punya nilai kebenarannya sendiri. Tindakannya pragmatis namun cenderung mempunyai cara berpikir yang berbeda dengan orang kebanyakan. Pada akhirnya orang-orang seperti ini banyak disalahpahami sebagai pembohong bahkan penipu.

Jarang kepribadian lain yang bisa memahami kepribadian ini. Kami merasa bisa hidup sendiri. Kami cenderung punya nilai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Kami tahu bahwa kami berbeda. Kami sadar, kami punya nilai kebenaran yang berbeda. Ada dimana saat kami merasa kalian belum berhak masuk kepada bagian kami yang kami anggap penting. Kami akan menjauh. Dan kami tidak peduli dengan penilaian kalian.

Kami merasa kalian tidak ada yang bisa mengerti kami. Dan itu terkadang benar. Sekarang, apakah kalian mengerti kami? Saya akan melihat banyak dahi yang berkerut kecuali orang [dengan tipe] XYZ-nya sendiri.”

Pada prinsipnya, reaksi ada karena aksi. Respon ada karena stimulus. Di satu titik, perlu disadari bahwa ketidaknyamanan yang kita rasakan, yang kita atribusikan pada respon tidak menyenangkan orang lain atas diri kita, sebenarnya bersumber dari diri kita sendiri yang menampilkan karakter, sikap atau perilaku yang tidak berkenan di hati orang lain. Kadang, masalahnya ternyata ada dalam kepribadian kita, aspek psikologis kita.

Aku hanya berpikiran, sebaiknya hasil tes psikologi tidak diperlakukan sebagai pembenaran bagi kesalahan, kelemahan atau kekurangan diri kita. Di satu sisi, kita memang akhirnya merasa nyaman dan tenang, sehingga tidak ada yang perlu diubah dalam diri kita, tidak ada yang perlu dipedulikan kecuali kesejahteraan kita sendiri. Tapi di sisi lain, sikap tersebut menunjukkan kecenderungan stagnasi yang bertentangan dengan tujuan pengetahuan tentang diri, yaitu mendorong evaluasi, perbaikan dan perkembangan diri.

Poin yang ini, bagiku, berakibat fatal.

***

3#

Jika dipahami lebih baik, hasil tes psikologi sebenarnya hanya menggambarkan, tidak memberikan informasi sebenarnya tentang diri kita, kenyataan kita. Ia sama seperti makna tes pada umumnya, ia membuat penilaian hanya berdasarkan sampel diri kita, sebagai kecil diri kita yang tampak, yang memungkinkan untuk dikaji. Jadi, sebaiknya sikapilah apapun hasilnya, baik yang positif maupun negatif, secara moderat, proporsional, tidak terlalu mempercayakan diri padanya, karena bisa jadi itu bukanlah diri kita yang sebenarnya dan pada kenyataannya memang bukan.

Manusia, jiwa dan kepribadiannya adalah bagian dari ilmu Allah. Jika ingin mengenal diri secara lebih baik, tidak salah jika kita memintanya pada Allah. Sebagai Tuhan yang Maha Memberi Petunjuk, yang membuat manusia bisa memahami alam semesta, tentunya Ia juga menunjuki manusia jalan menuju pemahaman dirinya sendiri. Psikologi hanya salah satu cara untuk memahami diri kita.

Di titik ini, aku semakin mengerti manfaat membaca firman Allah, Al Qur’an. Ia sebagai jalan utama memahami diri dan kemanusiaan kita? Tidak salah.

PS:
Tulisan ini berhasil selesai dalam waktu tiga sampai empat jam, tetapi sebenarnya menghabiskan kurang lebih dua tahun untuk mematangkan konsepnya. Di penutup ini, aku berterima kasih pada dosen dan teman-temanku di kelas Psikodiagnostik 1, 2 dan 3, Tes Grafis dan Depth Psychology. Pengalaman belajar assessment dalam psikologi juga sangat berharga. Terima kasih semuanya 😀

One thought on “Dilema Mengenal Diri, “Tes-(nge)tes” Psikologi

  1. baguuus ulasannya. saya termasuk orang yang ‘kurang percaya’ dengan tes2 psikologi. hihi. yang lebih tepat, mengenal pribadi orang itu macam yang disampaikan hadits: safar dengannya, menginap bersamanya. hehe

Comments are closed.