Psikologi dari Perspektif Islam Bag. 5

Psikologi dari Perspektif Islam: Kontribusi Para Ilmuwan Muslim di Masa Awal dan Tantangan Ilmuwan Psikologi Muslim Saat Ini

 

Bagian terakhir dari seri psikologi dari perspektif Islam. Tulisan ini merupakan terjemahan dari:

Haque, A. 2004. Psychology from Islamic Perspectives: Contributions of Early Islamic Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists. Journal of Religion and Health. Vol. 43, No. 4, Winter 2004, pp. 357-377

***

Psikologi Barat Kontemporer dan Dilema Ilmuwan Psikologi Muslim

Setiap mahasiswa psikologi modern tahu bahwa psikologi adalah cabang dari filsafat pada akhir abad ke-19. Istilah psikologi itu sendiri diambil dari akar kata bahasa Yunani “psych” atau jiwa dan “logos” yang berarti cinta. Jadi, psikologi awalnya mempelajari jiwa sebagai materi pokoknya. Sebelumnya, di abad ke-14, psikologia berkenaan pada cabang pneumatologi, ilmu tentang wujud-wujud dan substansi-substansi spiritual dan di abad ke-16, istilah antropologia dibuat menjadi cabang dari psikologia, ilmu tentang pikiran manusia dan somatologia, ilmu tentang tubuh manusia. Di abad ke-18, pengaruh empirisme dan rasionalisme membuka jalan bagi saintifikasi psikologi, tapi barulah di tahun 1879 laboratorium pertama psikologi didirikan di Jerman. Pendiri lab tersebut, Wilhelm Wundt meneliti tentang kesadaran, yaitu apa yang terjadi di dalam pikiran kita. Segera setelah itu, pandangan tentang psikologi ditantang oleh ilmuwan psikologi Amerika, John Watson, yang menyataan bahwa psikologi dapat menjadi ilmiah hanya jika ia menelaah perilaku yang dapat diobservasi. Pengaruh dari behaviorisme Watson tetap sangat kuat sampai tahun 1960, terutama karena dukungan Skinner lewat prosedur-prosedur pengkondisian operannya. Selama tahun 1960an dan 70an, revolusi kognitif terjadi, yang mengarahkan pengukuran teknologis atas peristiwa-peristiwa kognitif seperti persepsi, mimpi, memori, dan sebagainya. Kemajuan saintifik lainnya mengarahkan pada pengukuran yang akurat atas proses-proses tubuh seperti denyut jantung dan tekanan darah, termasuk aktivitas neurologis dalam otak, juga mempengaruhi psikologi. Singkatnya, psikologi menjadi disiplin ilmu yang independen sebagai hasil dari pengaruh-pengaruh ilmu seperti fisiologi, psikiatri (contoh, perspektif psikodinamika Freud), dan di atas itu semua, pengaruh para positivistis yang berhasil mengeliminasi elemen-elemen metafisikal dari ilmu-ilmu alam dan humaniora.

Proses sekularisasi ini terlalu mengabaikan moral dan fenomena spiritual dalam diri manusia dan menyerahkan perkara tersebut pada individu untuk mempraktikkan agama. Sekularisasi ilmu-ilmu sosial mengarah pada perkembangan teori-teori yang deterministik dan meninggalkan sedikit atau bahwa tidak ada ruangan bagi kehendak manusia.17)  Konsep ini bertentangan dengan teori Islami tentang hakikat manusia yang memiliki ruang substansial bagi kehendak bebas. Ilmuwan-ilmuwan sosial Muslim dididik dalam pendidikan yang sekular dan di bawah pengaruh cara berpikir ilmiah yang terpengaruhi psikologi Barat. Badri (1979) menunjukkan bahwa “ilmuwan psikologi Muskin memiliki kegairahan yang gelisah untuk diperkenalkan di bawah payung ilmu-ilmu bergengsi… yang menyebabkan mereka menerima secara buta teori-teori dan praktik-praktik yang tidak pas bagi penerapannya paling tidak di negara-negara Muslim” (h. 3). Badri juga menyatakan bahwa karena absennya aspek spiritual dalam penelaahan manusia dari perspektif Barat, buku-buku teks dan jurnal-jurnal psikologi dipenuhi hasil-hasil yang kontradiktif (h. 16).

Hal tersebut sungguh benar, bahwa banyak konsep yang dibawa dalam psikologi Barat adalah ateistik dalam filsafat dan pendekatan mereka dan karena itu memberikan dilema terbesar bagi ilmuwan psikologi Muslim kecuali jika perilaku manusia dikaji dari kerangka berpikir yang Islami (Achoui, 1998; Ansari, 1992; Haque, 1998, 2002, 2004). Badri yakin bahwa ilmuwan psikologi Muslim sering menjadi pendukung dan pendakwah utama psikologi Barat di negara-negara Muslaim. Hal ini benar kendati fakta bahwa kebanyakan teori-teori Barat tentang sifat dasar manusia begitu kontradiktif, tidak lengkap dan membingungkan dalam psikologi Barat itu sendiri. Mari kita perhatikan beberapa komentar tentang psikologi kontemporer dari beberapa ilmuwan psikologi Barat. Merujuk pada identitas psikologi, Kimble (1984, h. 833) menulis bahwa: “Psychology has an identity problem. After more
than a century of official existence…there is even debate of our subject matter… Staats and Koch agree that psychology’s splintered condition results, at least in part, and probably most importantly, from the existence of sharply polarized opinion about the epistemological underpinnings of psychology.” Serupa, Jordan (1995) mengkritik psikologi dengan menulis bahwa, “There can be no doubt about it; contemporary American scientific psychology is the sterilest of the sterile. Years of arduous labor and the assiduous enterprise of hundreds of professors and thousands of students has yielded precisely nothing…the canard that ‘‘psychology is a science’’ has long outlived its explanatory—away usefulness: the unpleasant and discouraging facts must be faced honestly’’ (h. 3). Norager (1998) penunjukkan bahwa psikologi eksperimental dan behaviorisme telah menghidupkan standar-standar saintifik, tetapi segera setelah psikologi berkembang melampaui dua bidang positivistik ini, “filsafat dan metafisika masa lalu yang ditekan akan muncul kembali”.

Dalam memandang pernyataan-pernyataan ini, kita dapat melihat bahwa psikologi modern belum menghidupkan demi tujuan profesionalnya, yaitu membantu orang-orang memahami diri mereka, tujuan dan makna hidup mereka, dan bagaimana hidup dengan seimbang dan dengan perilaku yang konstruktif. Psikologi modern membuat asumsi-asumsi yang gawat bahwa perilaku manusia dapat diobservasi oleh indera dan karena itu kuantifikasi dan pengukurannya mengabaikan aspek transendental dari manusia. Kemanusiaan tidak dapat selalu diukur dengan cara yang mekanistis, materialistis, dan reduksionalistis. Tidak seperti ilmu-ilmu alam, psikologi mempelajari perilaku manusia dan proses-proses kognitifnya, yang itu melibatkan pengaruh keyakinan, sikap, norma, adat-istiadat, dan agama berdasarkan pengalaman-pengalaman transendental dan sistem nilai. Tidak dipelajarinya faktor-faktor ini hanya akan memberikan gambaran yang tidak lengkap atas diri manusia. Polkinghorne (1984) menulis bahwa alam manusia itu unik dalam hal:

1) karakter yang sistemik atau hubungan yang kontekstualnya,

2) kualitas yang belum selesainya (unfinished quality), contoh dunia manusia selalu berada dalam kondisi berfluktuasi dan memiliki sejarah yang terus berkembang,

3) maknanya yang tidak bisa diobservasi langsung, yang menunjukkan bahwa kita harus menerikma bukti adanya alam yang lain.

Karena sebab-sebab ini, psikologi kontemporer mengajukan tantangan yang serius pada ilmuwan psikologi Muslim. Karena dasarnya pada paradigma yang sekular, psikologi saat ini tidak dapat diterima bagi keseluruhan ilmuwan psikologi Muslaim. Upaya untuk memahami perilaku manusia akan mengarahkan ilmuwan psikologi Muslaim untuk mengikuti perspektif Islam tentang hakikat manusia dan ini akan berarti membawa mereka kembali pada sejarah pendahulu mereka yang karya-karyanya didasarkan pada paradigma yang Islami. Di level teoretis, ilmuwan psikologi Muslim perlu mengidentifikasi dan mengklarifikasi pandangan mereka tentang ilmu pengetahuan secara umum dan membangun wawasan yang lebih dalam tentang hakikat dan tujuan ilmu. Ini akan memerlukan penjernihan keimanan Muslim dan pemahaman akan perbedaan antara sekularisme dan Islam. Mereka juga butuh meredefinisi subjek material psikologi dari perspektif Islam dengan menggunakan paradigma Tauhid–ini akan berarti mempelajari “Nafs” (jiwa), lagi, dari perspektif religius Muslim. Mereka juga butuh mengembangkan dan meluaskan kerangka berpikir teoretis tentang semua topik yang muncul dalam dunia psikologi Islami. Pada level yang lebih praktis, ini akan melibatkan pengumpulan materi-materi dari masa awal sampai modern milik ilmuwan Muslaim yang relevan dengan psikologi termasuk menerjemahkan karya-karya dari bahasa Arab, Perancis, Persia, Turki, dan Urdu ke bahasa Inggris agar dapat dibaca umum. Mungkin organisasi yang tertarik pada pekerjaan semacam ini perlu diidentifikasi. Hibah-hibah universitas, sumbangan, dan pendanaan pribadi lainnya perlu dicari untuk mendapatkan dukungan finansial bagi aktivitas-aktivitas ini. Mereka butuh untuk membentuk jaringan ilmuwan psikologi yang tertarik untuk bekerja sama dalam usaha ini. Ilmuwan psikologi Muslim perlu belajar, membangun dan kemudian mengajarkan psikologi Islami secara konprehensif. Mereka butuh mengembangkan skala yang terstandarisasi bagi populasi Muslaim, memulai studi-studi empiris dan cara-cara yang Islami untuk mengobati masalah-masalah psikologi berkenaan dengan (misalnya) konseling krisis, konseling keluarga, konseling sekolah, dan terapi pernikahan.

 

Kesimpulan

Dikarenakan meningkatnya multikulturalisme di Barat dan bergairahnya minat untuk memahami komunitas Muslim, adalah penting untuk mengeksplorasi perspektif Islam tentang hakikat manusia. Kontribusi ilmuwan-ilmuwan Muslim masa awal pada bidang psikologi diperkenalkan dalam tulisan ini. Dilema dan tantangan yang dihadapi para profesional dan klien Muslim juga tercakup di dalamnya, dan rekomendasi-rekomendasi diberikan bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Diharapkan bahwa kepentingan ini akan dimiliki bersama oleh para peneliti arus utama karena psikologi yang indegenous memiliki keunggulan yang jelas melebihi psikologi barat bagi budaya-budaya asli.

***

Alhamdulillah, sudah selesai. Insya Allah, semoga ada waktu, aku akan membuat ulasannya. Selamat Hari Raya Idul Fitri!

10 thoughts on “Psikologi dari Perspektif Islam Bag. 5

  1. memang ada yg berpendapat, perbedaan antara ilmiah dan tidak ilmiah, tesis ini terus saja menjadi perdebatan. sehingga memunculkan antitesis psikologi bukan sebagai ilmu, karena ilmu pada dasarnya mesti ilmiah. ilmiah itu terindera, dan psikologi itu fenomena yg tak terindera. sama seperti kajian2 sosial. bisa jadi ini juga penyebabnya tidak banyak ilmuwan muslim yg tidak tertarik ama kajian sosial

    • Psikologi itu bukan tidak bisa diindera. Menurutku, yang tepat itu adalah ada bagian psikologi yang bisa diindera dan ada yang tidak. Perilaku manusia (yang menjadi objek kajian psikologi) bisa diobservasi dengan mata, tetapi proses psikologis di baliknya bisa didekati dengan metode yang berbeda, misal wawancara atau tes psikologi.

      Bagiku ilmu alam dan ilmu sosial itu punya karakternya sendiri-sendiri. Misal kita bisa mewawancarai manusia, tetapi tidak mungkin kita mewawancarai virus, batu atau bintang-bintang. Kita bisa mengamati batu dan bintang-bintang, tetapi kalau hanya melakukan itu pada manusia, data kita tak akan lengkap.

      Kalau ada orang yang masih mempertentangkan status psikologi, kurasa orang itu belum memiliki wawasan yang lengkap tentang manusia, entah karena ia memandang manusia hanya sebagai benda material atau hanya sebagai jiwa tanpa kerompong/ jasad.

      • ah saya seneng bisa berdiskusi seperti ini. perbedaan literatur akan memperkaya kita. sy sebatas pembaca ilmu sosial, karya giddens, weber, dll. tapi sy belum menemukan karya2 ilmuan islam ttg gejala sosial sperti yg udah dikaji ilmuan barat. walau sudah membaca kajian2 nurcholis, dan beberapa budayawan muslim dalam negeri, sy melihat itu hanya menyitir pikiran2 barat. apa ada analisa genuine dari islam dan syariat islam membahasnya pula. belum sy temukan. kalau kajian psikologi, sy cuman punya buku “psikoterapi dan konseling islam” hamdani bakran, fajar pustaka. entar dah tunggu rekomen afti

      • Kebetulan saya sepertinya punya banyak referensi. Jika pembahasan kita akan masuk ranah psikologi Islami, ada banyak sekali literatur yang tak terduga. Karya-karya al-Ghazali, termasuk Ihya Ulumuddin adalah bacaan wajib psikologi Islami. Karya Ibn Tufayl, Hayy bin Yaqdzan, sangat psikologis dan ada di toko buku. Muqaddimah Ibn Khaldun juga termasuk. Itu literatur-literatur klasiknya.

        Kalau mau yang modern, beberapa mulai muncul, macam psikologi kenabian, psikologi kesehatan Islami, psikologi Qurani, dan banyak lagi yang mengulas hubungan antara psikologi Barat dan psikologi Islam. Meskipun demikian, perkembangan psikologi yang Islami ini masih jauh dari ideal. Semua orang masih berusaha, mungkin hasilnya akan baru terlihat 10 tahun lagi atau lebih…

      • Namun sayang sekali aksesku pada ilmu sosial/ kemasyarakatan secara umum masih kurang. Ingin sekali juga bisa membaca apa yang pernah kamu baca dan ikut bertanya, apa ada analisa yang genuine dari para ilmuwan muslim?

        Memang ada kebutuhan untuk membangun ilmu-ilmu yang Islami. Meskipun realita masih jauh dari ideal (orang-orang masih menyitir pendapat ilmuwan Barat), kupikir itu dinamika yang normal dalam perkembangan ilmu bahwa dalam belajar, orang patut bertanya pada orang yang (dipandang) lebih tahu. Tidak ada yang perlu dikecewakan. Ilmuwan muslim abad pertengahan saja belajar dari orang-orang Yunani, India dan Persia. Kenapa kita merasa sedih kalau sekarang kembali “tergantung”/ belajar pada Barat?

        Kupikir, yang akan dihargai oleh Allah itu bukan kesedihan kita tidak mampu membangun peradaban Islam sebesar dahulu, melainkan semangat dan kegembiraan mencari ilmu; mengumpulkan hikmah, perbendaharaaan muslim yang hilang di mana saja ia berada sekalipun itu berada di tangan orang kafir. Itu adalah milik kita, bisa kita cari manfaatnya (insya Allah ada) untuk memperbaiki keadaan kita sendiri.

  2. Assalammu’alaikum, tulisan mbak bagus, cuma maaf mbak mata saya sedikit terganggu saat melihat tulisan mbak yang paling atas “logos” yang berarti cinta”, sejak kapan logos itu cinta? saya lihat di An Intermediate Greek–English Lexicon (Henry George Liddell & Robert Scott, 1889) 🙂 definisi logos “a ground”, “a plea”, “an opinion”, “an expectation”, “word”, “speech”, “account”, “reason” “discourse”, “conversation”. mungkin secara terminologinya “the word or that by which the inward thought is expressed” atau “the inward thought itself” sedangkan cinta itu dalam greek dictionary: philos, agapeo, mania, eros, storgy 🙂

    *nb: mohon penjelasannya 🙂

    • Dalam tulisan ini, saya hanya menerjemahkan artikel aslinya yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sudah saya cek dan demikian adanya. “The term psychology itself derived from the Greek root word ‘‘psych’’ or soul and ‘‘logos’’ meaning love.” Silakan jika ingin memeriksanya, saya berikan link artikel aslinya di awal tulisan ini.

Comments are closed.