Belajar dari Kudeta Turki: Proyeksi Masa Depan Muslim di Indonesia

“Gerakan Gulen meletakkan basis ideologi Islamnya pada etnokultural Keturkian, sedangkan AKP menempatkan identitas muslim di atas identitas etnis.

Gulenisme menganjurkan sintesis Turki-Islam bahwa Islam Turki itu khas. Menurut mereka, Islam masuk ke Turki bukan dibawa orang Arab, melainkan oleh orang Asia Tengah melalui sufisme yang mencinta perdamaian. Akibatnya, Islam Turki lebih moderat, toleran dan lebih terbuka dalam interpretasi ketimbang Islam di Arab dan Iran yang rentan radikalisasi.

Sebaliknya Islam politik versi AKP merujuk kepada sejarah Islam dan Turki Usmaniyah (Ottoman) sehingga mengecilkan peran etnis karena bagi mereka tak ada hirarki dalam Islam. AKP berprespektif Islam universalis dengan menempatkan Turki sebagai pemimpin dunia Islam Sunni yang berbeda dari Gerakan Gulen yang lebih tertarik mengikatkan identitas ke-Turkian di Asia Tengah, selain mempromosikan dialog antaragama.

Gulenisme cenderung toleran dengan minoritas Yahudi dan Kristen, sebaliknya AKP lebih tertarik membangun solidaritas global Islam Sunni. Perbedaan pandangan ini membuat mereka kerap berseberangan pada banyak peristiwa…”

Antaranews: Kudeta gagal dan anatomi politik Turki

======

1#

“Di Indonesia Gerakan Gulen ini berarti mirip NU yang toleran dan memaknai perbedaan sebagai sunatullah, sedangkan AKP ini jadi mirip PKS.”

— teman AM

Saya menulis lantaran tertarik pada komentar seorang teman hasilnya membaca artikel berita di atas. Bagi saya, peristiwa di Turki ini memang sangat menarik untuk dilihat dengan kacamata psikologis. Sangat menarik. Jika ditelaah baik-baik dinamikanya, ia memberikan pengetahuan tentang apa yang mungkin bisa terjadi di Indonesia seandainya umat Muslim berkuasa dan mendominasi perpolitikan, tetapi gagal menyelesaikan persoalan identitas yang beraneka ragam di dalam dirinya sendiri.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang, meskipun menyadari dirinya membawa identitas yang bermacam-macam, tetap memiliki satu atau dua yang baginya paling dicintai dan dibanggakannya. Sama-sama muslim, tapi ada yang lebih menghargai etnis dan bangsanya; ada pula yang lebih menghargai mazhab, partai, atau ideologi. Bukan maksudnya membuang etnis dan bangsa, tetapi mazhab lebih berarti dan bermakna bagi dirinya. Bukan maksudnya pula membuang mazhab dan ideologi, tetapi bangsa lebih berarti.

Jika ada perseteruan, menurutku sebenarnya utamanya bukan karena ajaran masing-masing golongan (karena secara teori, sudah ada ketetapan dan kesepakatan bahwa Islam itu satu dan selalu ada jalan untuk mempersatukan yang berbeda-beda cukup dengan syahadat), melainkan persoalan “siapa saya, siapa kamu; kamu bukan saya, saya bukan kamu” yang tidak menemukan jalan damai.

Dari sini, bisa dipahami bahwa persoalan Islamisasi yang sebenarnya bukan persoalan ajaran (karena nilai-nilai Islam yang murni adalah rahmat bagi semua dan bagus jika bisa diamalkan), tetapi persoalan identitas-identitas Muslim yang akan berbenturan. Persoalan perbenturan identitas ini tidak selesai dengan menyuruh orang kembali pada Quran dan hadist, karena bukan itu sumber masalahnya. Asal masalahnya adalah egoisme dan narsisme; orang bangga dengan wajahnya sendiri, sama seperti perempuan yang senang bersolek, memuji kecantikan parasnya di cermin, dan tidak mau sedikitpun wajahnya ditukar dengan wajah orang lain, padahal wajah di manapun adalah wajah, fungsinya sama (sama-sama ada matanya, hidungnya, mulutnya).

Tantangan ilmuwan sosial abad 21 tentu jadinya lantas adalah mencari cara, agar dunia yang multi agama dan keyakinan spiritual ini pun tidak rusuh; tantangan ilmuwan yang muslim adalah cari cara agar umat Muslim yang beraneka wajah pun tidak rusuh.

Ketimbang mengandalkan ulama yang cenderung hanya tahu agama dan hal-hal ideal, solusi ini lebih butuh uluran tangan para ‘alim di bidang sosial dan ahli menganalisis realitas. Tidak bisa cuma dengan kampanye Islam itu damai, Muslim itu seharusnya begini, begini, begini, dan semacam itu. Ada persoalan di dalam diri pribadi dan kelompok yang harus dibantu untuk diselesaikan. Upaya sistematis menuju ini harus disepakati untuk diusahakan dan ditemukan jalan keluarnya, karena tentu saja akan jauh lebih mengerikan jika pada akhirnya Allah sendiri yang menyelesaikan masalah kita ini di akhirat nanti.

=======

2#

“Kekuasaan besar di tangan manusia adalah api yang membakar diri sendiri.”

— MS

Setelah saya membaca artikel ini sendiri secara lengkap, saya mendapati pula satu persoalan tentang perbenturan nilai-nilai dalam tubuh umat Islam yang semakin menguatkan keyakinan saya bahwa persoalan mendasar dalam perselisihan umat bukanlah ajaran dan nilai-nilai dalam Islam, melainkan persoalan dengan nilai lain apa nilai Islam bergabung.

Politik Turki dan dinamikanya yang menjadikan Islamisme ideologi dominan adalah sumber pelajaran yang besar tentang bagaimana nilai berperan dan berubah dalam masyarakat dalam kurun waktu satu abad saja. Kita dapat belajar dari sejarah, bahwa selama tiga dekade awal abad 20, ideologi Kemalisme atau nasionalisme sekular pernah menjadi raja yang seakan akan abadi. Sekularisme yang sangat ketat dan kaku ternyata kemudian berdampak sosiologis dan psikologis pada masyarakat yang sejak awal religius dan tidak bisa memisahkan agama dari kehidupan mereka.

Keadaan tersebut mendorong partai politik untuk mengembalikan peran agama. Di sini terjadi perubahan pertama dalam nilai di Turki ketika agama kembali dianggap penting dan bersandingan dengan sekularisme. Nasionalisme Turki perlahan menjadi religius, terlebih ketika agama pun akhirnya bermanfaat untuk menangkal ideologi komunisme yang saat itu berkembang pula di dunia. Tonggaknya adalah ketika Islamisme pada akhirnya menjadi ideologi yang sangat kuat di akhir abad 20, ditandai dengan kemenangan politik Partai Refah di parlemen Turki dan pemimpinnya menjadi perdana menteri. Hanya saja kemudian terjadi perseteruan ketika Islamisme pun dianggap merongrong sekularisme sehingga terjadi kudeta tahun 1997 oleh militer yang mendukung sekulerisme.

Belajar dari kesalahan Partai Refah, aktivis politik saat itu, termasuk Erdogan di dalamnya, kemudian memunculkan solusi untuk mengatasi persoalan politik yang merugikan Islamisme saat itu dengan mendirikan Partai Keadilan dan Pembangungan (AKP). Partai tersebut adalah partai Islam, hanya saja menjunjung Islamisme yang lebih liberal dan toleran sehingga kaum sekuler dapat menerimanya. Partai itu melesat tinggi di langit Turki lantaran ia pun menjadi alternatif bagi rakyat Turki yang muak dengan krisis ekonomi dan korupsi yang gagal diselesaikan oleh rezim sekuler. Pada pemilu tahun 2002, AKP menang, meskipun lembaga-lembaga negara masih didominasi orang-orang penganut Kemalisme (nasionalisme sekuler).

Usaha melemahkan Kemalisme dilakukan AKP dengan mengajak kerja sama satu gerakan sosial Islam apolitik yang didirikan oleh Fethullah Gulen (Gerakan Hizmet). Gerakan ini sudah memiliki jutaan pengikut baik di dalam maupun di luar Turki dan mulai berpengaruh ketika sejumlah anggotanya pun memasuki lembaga-lembaga negara, institusi pendidikan, parlemen, peradilan, dan ekonomi. Dalam kepala orang-orang, Kemalisme berganti menjadi Gulenisme (Gerakan Gulen), sementara tubuh politiknya dikuasai oleh AKP. Keduanya sama-sama membentuk Turki yang religius dan besar yang dikagumi Dunia Islam.

Meski demikian, setelah sama-sama berkuasa, perseteruan pun mendera keduanya lantaran perbedaan dalam ideologi keislaman keduanya. Di sinilah apa yang saya maksud dengan “persoalan dengan nilai lain apa nilai Islam bergabung”.

Basis ideologi Islam dalam Gulenisme adalah budaya etnis Turki, bahwa Islam Turki memiliki suatu kekhasan, bukan sebagai Islam yang dibawa oleh orang Arab (nilai budaya). Islam Turki lebih banyak berdasarkan pada sufisme (spiritualisme Islam) yang menjunjung tinggi perdamaian (nilai spiritual). Hasil dari nilai-nilai yang bergabung dengan Islam itu, Islam Turki menjadi moderat, toleran, dan terbuka. Mereka menerima dan berusaha menjalin hubungan dengan umat Yahudi dan Nasrani. Karena itu, pengikut Gulen dan Gulenisme lebih disukai oleh Amerika Serikat.

Sementara itu, Islamisme yang dijunjung AKP lebih kental ambisi politiknya (nilai politik). Semangat perjuangan mereka merujuk dan berusaha mengembalikan kedigdayaan Turki ketika dahulu dikuasai Kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah), yang berakhir di awal abad 20. Mereka tidak menganggap penting peran etnis. Orientasi mereka adalah Islam yang universal dan menempatkan Turki sebagai pemimpin dunia Islam (Sunni).

Perbedaan nilai dasar yang mewarnai Islam, perbedaan orientasi, tujuan, dan aspirasi, dan perbedaan langkah-langkah, akhirnya menjadikan dua orang yang bersahabat berpisah jalan. Erdogan dari AKP yang berusaha mempertahankan kekuasaan berubah menjadi antikritik dan memilih tindakan agresif untuk melawan oposisinya. Akhirnya Erdogan pun dikenal dimusuhi oleh baik faksi Gulen di pemerintahan, media, maupun militer. Ketidakpuasan pada kaum yang berkuasa ini adalah awal kudeta baru-baru ini. Masing-masing pihak telah mendahulukan cara kekerasan ketimbang cara damai untuk menundukkan satu sama lain. Pada saat ini, karena situasi dan keadaan, akhirnya nilai politik sama-sama telah berada di atas nilai agama (nilai dominasi).

Ketika Islam sudah berjaya maupun belum, di antara orang-orang tetap akan ada yang berebut kekuasaan dan bersaing menyebarkan pengaruh. Di manapun hasrat pada kekuasaan adalah api yang terus membesar; kekuasaan yang besar di tangan adalah api yang membakar diri sendiri.

Dengan kecenderungan Erdogan dan AKP yang semakin bernafsu mendominasi politik Turki, entah apa yang selanjutnya akan terjadi. Bagi saya, sangat bagus kudeta dapat dihentikan karena itu cara yang tidak sesuai konstitusi negara maupun agama. Demokrasi di Turki dapat dilindungi dan itu adalah modal besar untuk menciptakan Turki yang lebih baik di masa depan. Dalam demokrasi, pemimpin naik dan turun lantaran kepercayaan dan pemilihan. Jika Erdodan dan AKP-nya benar dan bertindak benar, maka rakyat akan tetap percaya padanya dan Tuhan akan tetap tersenyum pada mereka. Namun, jika mereka salah, Tuhan akan tersenyum pada pemimpin yang baru.

Keadaan di Indonesia mungkin mirip-mirip dengan Turki, dengan keberadaan kaum nasionalis Islamis religius (NU, Muhammadiyah, dan kawan-kawan yang lahir dari bumi Indonesia) dan pendukung Islam politik yang diwakili PKS. Di Indonesia, perjuangan menuju supremasi Islam seperti yang diinginkan pendukung Islam politik masih jauh, terutama karena ideologi Indonesia Pancasila. Tidak ada satu agama yang diistimewakan, sekalipun mayoritas rakyat adalah Muslim.

Peristiwa baru-baru ini dan sejarah panjang Turki memberikan pelajaran tentang pergumulan ideologi dan nilai-nilai di masyarakat. Islamisme yang menjamur saat ini adalah indikasi nilai dan ideologi Pancasila yang berubah lemah dikarenakan kaum nasionalis tidak berhasil mewujudkan cita-cita rakyat akan kemakmuran dan hidup yang bahagia, terjebak dalam krisis politik, kepentingan golongan, dan korupsi. Tidak ada pihak yang dapat menyetir ideologi apa yang akan menang; ideologi apa yang keluar sebagai pemenang adalah yang pada suatu waktu dianggap paling menjawab kebutuhan orang-orang akan hidup yang makmur dan sejahtera.

Dinamika yang seperti ini memang tampaknya klise, tetapi memang demikian kenyataannya. Kekacauan akan terjadi ketika antarideologi besar (nasionalisme sekuler vs nasionalisme religius vs Islam kultural vs Islam politik) justru berperang dan sama-sama tidak memberikan jalan keluar, sehingga rakyat tidak memiliki pilihan dan gerakan untuk didukung. Pada kondisi yang seperti ini, orang akan bergerak menurut keyakinan individual. Solusinya memang bagaimana menemukan titik temu dan memadukan sebaik mungkin antara nilai-nilai dalam Pancasila dan ajaran Islam, antara Islam kultural (Islam Indonesia) dan Islam politik, tidak sebagai dua nilai yang eksklusif dan tidak bisa bertemu. Ini tidak untuk menjadikan semua orang sama, melainkan membuat semua orang menyadari bahwa mereka punya banyak persamaan antara satu sama lain dan potensi bekerja sama dan hidup bersama, sekalipun tetap ada perbedaan yang membuat masing-masing unik.

Bagi kaum Islamis politik, ini mungkin sulit karena ideologi mereka menghendaki supremasi Islam tidak hanya atas negara, tetapi juga dunia. Pikir saya, terserahlah bagaimana keyakinan inti mereka, tetapi realitas menuntut praktik yang tidak melanggar hak orang lain untuk hidup dengan ideologi mereka sendiri. Dari situ, sikap Erdogan dahulu untuk mendirikan AKP patut diteladani, yaitu dengan mendirikan partai yang terbuka dan toleran. Memang ada persoalan lagi; mungkin pada elitenya telah ada kesadaran itu demi cita-cita partai, tetapi di kalangan akar rumputnya, ada kecenderungan untuk bersikap terlalu bersemangat, kaku sekali dan menabrak sana-sini tanpa sadar apa dampaknya. Ini benar-benar mementahkan usaha partai untuk menjadi partai yang disukai oleh lawan-lawan politiknya maupun orang-orang dengan ideologi yang berbeda.

Semoga Allah menjaga kita semua, bangsa Indonesia dari perpecahan. Aamiin.

 

 

Dunia Muslim

One thought on “Belajar dari Kudeta Turki: Proyeksi Masa Depan Muslim di Indonesia

Comments are closed.