Semarang – Banda Aceh Bag. 6: Di Pesisir

Tapaktuan, Kab. Aceh Selatan, 15 Juli 2015, 08:13

Mungkin, kemarin itu adalah perjalanan kami yang paling panjang. Kami berkendara dari Padang Sidempuan, Kab. Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sampai Tapaktuan, Kab. Aceh Selatan, NAD, dari pukul 9 pagi sampai 12 malam. Melelahkan dan mengkhawatirkan. Perjalanan kali ini hampir seluruhnya berada di lembah dan punggung Bukit Barisan. Tak ada kota-kota kabupaten besar karena semua sudah lewat. Yang ada adalah kota-kota kecamatan yang kecil dan sepi. Tak ada lagi rekan sesama pemudik di sini.

Kami keluar Padang Sidempuan dan mendaki bukit kembali untuk sampai ke kota pelabuhan, Sibolga. Daerah yang kami lewati terkenal dengan komoditas buah salaknya. Kami sempat beli beberapa kilo sebagai oleh-oleh untuk saudara.

image

image

Kebun salak ada di mana-mana, tidak hanya di tanah-tanah yang datar, tetapi juga di lereng-lereng bukit. Di pinggir-pinggir jalan, banyak pondok-pondok didirikan untuk menjual salak. Salak yang dijual tidak dimasukkan dalam kantong plastik, melainkan kantong dari anyaman bambu yang rapat. Unik sekali.

Rumah-rumah penduduk pun ramai berada di pinggir jalan sampai ke Sibolga. Jalan kami tak bisa kencang karena selain jalanan sempit, banyak pula orang yang lewat. Mereka tinggal di rumah-rumah yang betul-betul khas. Tidak ada ciri rumah panggung. Tidak ada pula ciri rumah gadang. Orang tinggal di rumah kayu yang benar-benar kotak dan beratapkan seng. Rumahnya diberi kaki, tetapi pendek saja, dari kayu atau batu. Ada hiasan tertentu berbentuk segitiga di atapnya. Aku berkesimpulan, kali ini aku masuk ke daerah yang adatnya sama sekali lain.

image

image

image

Sibolga adalah kota pelabuhan. Letaknya di sebuah teluk yang mana di pintu masuk ke teluk itu terdapat sebuah pulau. Di depan kota itu laut, di belakangnya rangkaian Bukit Barisan. Daerah itu juga terdiri atas rawa-rawa. Kota tersebut sangat ramai. Perdagangan maju ditandai adanya pusat perbelanjaan besar. Di sini, mungkin karena penduduknya sudah heterogen bercampur antara Islam dan Kristen, di pintu masuk rumah makan muslim diberi tulisan basmalah.

image

image

image

image

Di kota ini banyak kampung nelayan. Dermaga di bangun di banyak tempat. Perahu-perahu nelayan ada yang tampak melaut, ada yang tertambat. Di sana tumbuh tanaman bakau, kelapa, sagu, dan nipah. Tetapi di dekat situ juga ada perkebunan karet bahkan tambang marmer. Ada pemandangan bukit-bukit yang ditambang. Tampilannya seperti sedang terjadi tanah longsor.

Mulai dari kota ini sampai seterusnya komposisi penduduk tidak lagi mayoritas muslim. Dari Sibolga sampai Barus, banyak gereja di sepanjang jalan, berselingan dengan masjid-masjid tua. Barus dan selebihnya di Kab. Tapanuli Tengah, penduduk dengan agama Kristen adalah yang mayoritas.

Untuk sampai ke Prov. NAD perjalanan kami sangat panjang menembus Bukit Barisan yang kini kembali dipenuhi tanaman sawit. Sejauh mata memandang yang ada adalah sawit. Kami sampai di Barus, kota pertama di mana Islam tiba di Indonesia dulu. Lalu kami lanjut menuju kota kecamatan Subulussalam yang jauhnya ratusan kilometer dari situ. Di perjalanan aku mengamati kehidupan orang Batak.

Masyarakat yang kulihat hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Sawah-sawah diselingi kebun ketela, kelapa, kacang, dan sawit. Selain itu, mereka juga beternak. Kambing tampak bebas berkeliaran dan juga babi. Babi-babi itu berkulit hitam dan berbulu. Sungguh pemandangan yang tidak biasa untuk kami yang muslim.

image

image

Ada banyak gereja dan makam Kristen di sepanjang jalan di Tapanuli Tengah. Gereja-gereja itu kebanyakan sudah tua, masing-masing memiliki arsitektur dan namanya sendiri. Orang Batak di sana memiliki kebiasaan membangun makam leluhur. Ada makam-makam yang dibangun seperti rumah, ada dinding dan atapnya, dan dihiasi salib besar. Untuk leluhur mereka, dibuat patung ayah dan ibu dalam keadaan duduk dengan pakaian adat. Ditulis pula dalam sebuah dinding batu nama anak keturunan mereka. Itu semua untuk menghormati leluhur yang pertama kali datang ke tempat itu dan membukanya untuk ditinggali.

Meski begitu, sayang sekali aku tidak melihat rumah adat Batak yang terkenal itu di sana. Hanya ada bangunan modern yang mempertahankan struktur atap rumah orang Batak. Mungkin aku akan bisa melihat banyak di daerah Tapanuli Utara sana.

image

Jalan kami berkelok-kelok di sepanjang Bukit Barisan. Pada akhirnya kami masuk di Prov. NAD, di Kab. Aceh Singkil. Di perbatasan yang dikelilingi kebun sawit di sepanjang mata memandang, ada pos yang dijaga oleh beberapa tentara bersenjata. Baru masuk dan di jalan-jalan tampak palang-palang yang berisikan kampanye perdamaian “damai itu indah”. Itu mengingatkan bahwa dahulu Aceh adalah daerah konflik.

Di kebun sawit yang luasnya tak terbayangkan itu, didirikan rumah-rumah papan untuk para transmigran dari Jawa yang bekerja di sana. Kami sempat berhenti untuk shalat di salah satu masjid di sana yang bersisian dengan rumah mereka dan halamannya. Aku sempat melongok seperti apa kehidupan mereka dari dekat.

Rumah terbuat dari papan dan sudah dialiri listrik. Sama seperti sebelumnya, untuk menikmati siaran televisi, harus punya antena parabola. Tapi tak semua punya itu. Di malam hari rumah-rumah itu tampak gelap. Hanya beberapa lampu yang menyala. Tetangga hampir berjauhan sekali letaknya. Setiap rumah sepertinya punya setidaknya satu sepeda motor. Untuk mendukung kehidupan, mereka berusaha memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk menanam sayur, seperti bayam, terong, cabai, tomat, dan daun bawang, ada juga bumbu dapur seperti jahe dan kunyit. Beberapa yang tinggal di sana adalah keluarga muda yang baru saja punya bayi, atau generasi kedua dari orangtua asal Jawa.

image

image

Sepinya hidup di tengah kebun sawit di punggung Bukit Barisan. Jarak untuk sampai ke kota kecamatan puluhan kilometer. Kami berbuka di jalan hari itu dan baru menjelang Isya’ sampai di Subulussalam. Kami mampir di sebuah masjid yang ramai orang i’tikaf di sana. Penduduk yang menyapa kami sangat ramah. Di halaman masjid itu ada dua makam tua yang nisannya hanya ditandai dengan batu.

Selepas Isya’ kami melanjutkan perjalanan untuk sampai ke Tapaktuan. Kami masuk kembali dalam Bukit Barisan, melalui jalan yang berkelok-kelok dan sepi, serta dikelilingi kebun-kebun sawit kalau bukan hutan. Tidak ada yang bisa dilihat dan situasi makin mengkhawatirkan. Hujan deras. Bapak menyetir sendirian dan sudah agak mengantuk. Kami semua sudah kelelahan. Tapi kami harus sampai ke ibukota Aceh Selatan itu. Kalau tidak, kami tidak akan dapat penginapan untuk beristirahat.

Akhirnya kami sampai juga. Tengah malam. Tak ada yang kami inginkan kecuali tidur sesegera mungkin.

Aku tak tahu seperti apa Tapaktuan itu. Tetapi keesokan paginya ketika keluar hotel, aku mendapati lautan ada di depan mata. Garis cakrawala dan lautan berwarna biru kelabu menyambut. Di belakang ada Bukit Barisan, di depan lautan samudera. Sama seperti Sibolga, Tapaktuan terletak di sebuah teluk.

image

image

image

Benar-benar kota pesisir yang indah. Hadiah bagi perjalanan panjang kami.

2 thoughts on “Semarang – Banda Aceh Bag. 6: Di Pesisir

Comments are closed.